Senin, 02 Desember 2024

Kenapa Tumpeng Berbentuk Kerucut? Ini Sejarah dan Filosofinya!

BOGOR — Nasi tumpeng, hidangan ikonik khas Nusantara, bukan sekadar sajian kuliner biasa. Berasal dari tradisi agraris masyarakat Jawa, tumpeng awalnya digunakan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan dewa-dewa atas hasil panen yang melimpah. Tradisi ini terinspirasi oleh kepercayaan Hindu dan Buddha yang dulu mendominasi nusantara, di mana gunung dianggap sebagai simbol sakral tempat tinggal para dewa. Bentuk kerucut pada nasi tumpeng pun melambangkan gunung sebagai wujud penghubung manusia dengan Yang Maha Kuasa.


https://pixabay.com/photos/tumpeng-traditional-food-705589/

Pada masa perkembangan Islam di Indonesia, filosofi tumpeng mengalami penyesuaian. Para ulama menyelaraskan maknanya dengan ajaran tauhid. Gunung kerucut pada tumpeng dianggap sebagai lambang puncak spiritualitas manusia dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Nasi yang dikelilingi lauk-pauk juga mencerminkan keberagaman hidup yang tetap menyatu dalam keharmonisan. Dengan perubahan ini, tradisi tumpeng menjadi inklusif dan diterima di berbagai kalangan masyarakat.


Tidak hanya bentuknya, setiap lauk yang menyertai tumpeng memiliki makna filosofis mendalam. Ayam ingkung melambangkan kepasrahan kepada Tuhan, ikan lele melambangkan ketabahan, telur rebus melambangkan hasil dari usaha keras, dan sambal sebagai simbol keberanian menghadapi tantangan hidup. Kombinasi ini mencerminkan pandangan hidup masyarakat Jawa yang sarat makna, yakni keselarasan antara spiritualitas, kerja keras, dan keberanian.


Tumpeng juga memiliki banyak jenis, yang masing-masing memiliki makna berbeda. Misalnya, tumpeng robyong biasanya digunakan untuk upacara kesuburan, sementara tumpeng putih sering kali digunakan untuk acara syukuran karena melambangkan kesucian. Adapun tumpeng merah putih kini sering digunakan dalam perayaan nasional, sebagai simbol patriotisme dan kebanggaan atas identitas bangsa.

 

 https://images.app.goo.gl/Yfmp2YEbuofh4FH66

Di era modern, nasi tumpeng tidak hanya terbatas pada acara keagamaan atau adat istiadat. Hidangan ini juga sering digunakan dalam perayaan ulang tahun, peluncuran usaha, hingga acara korporat. Meski demikian, nilai-nilai filosofisnya tetap relevan. Tumpeng mengingatkan kita bahwa di balik sebuah perayaan, ada doa dan harapan yang tulus untuk keseimbangan hidup, kesuksesan, dan keberkahan.


Tumpeng bukan hanya makanan, melainkan warisan budaya yang mengajarkan kearifan lokal. Sebagai generasi penerus, memahami sejarah dan filosofi di balik tumpeng adalah bentuk penghormatan kita terhadap warisan leluhur. Mari menjaga tradisi ini agar tetap hidup dan relevan, sehingga nilai-nilai kebaikan yang terkandung di dalamnya dapat terus menginspirasi kehidupan kita.

Sebuah model manusia yang ditakdirkan tinggal di Asia Tenggara yang bermimpi dan berdoa bisa bikin konten room tour di surga

2 komentar:

Banner Wartasejagat